Disaat derap langkah kaki kuda masih terdengar di sepanjang jalan
berbatu. Gaun-gaun sutera masih menghiasi tubuh semua orang. Dimana
status sosial mendarah daging dan pangeran di kerajaan megah merupakan impian para gadis.
Kau tahu? Aku bergerak karena tarian jemarimu. Aku melihat dunia karena
kau mengajakku. Kau membuatku hidup, meskipun aku layaknya boneka yang tak
berdaya.
Tak ada kisah putri tidur.
Tak ada kisah seorang gadis dengan ibu tiri kejam.
Tak ada kisah pangeran yang mencium sang putri.
Ini hanya sebuah kisah. Sangat biasa dan tidak terkenal.
Bukan pangeran, hanya seorang penghayal mimpi mimpi
Bukan kerajaan, hanya sebuah rumah kecil dengan tangisan anak kecil didalamnya
Sang pemimpi itu memiliki rambut
hitam, dan bermatakan merah seperti api yang
membara. Matanya menghanyutkan seperti rasa manis dalam lumeran salju. Dan
wajahnya memikat setiap gadis melebihi bayanganmu. Hidupnya terlihat normal
seperti pemeran figuran dalam sebuah cerita. Tak banyak masalah menghampiri
hidupnya yang tidak juga begitu singkat.
Tapi, hidup tidak semudah berjalan di garis lurus bukan? Suatu saat
akan ada sebuah tikungan yang mempertemukan kita dengan sebuah masalah rumit.
Dan tentunya, tidak semua jalan yang dipilih akan berakhir bahagia.
Termasuk hidup dari sang pemimpi dari negeri dongeng itu...
Pria tampan dengan kisah hidup yang berakhir tidak bahagia.
Tidak , tidak.. !!! dia tidak mati ... !!!
Dia juga tidak dikucilkan oleh penduduk
disekitarnya. Semua orang menyayanginya.
Dengan rambut layaknya kelopak bunga
dan mata berkilau. Pipinya gempal dengan
semburat merah di kulitnya yang hitam. Bibirnya yang tipis dan mengkilap selalu
tertarik ke dua sudut membentuk senyuman termanis.
Semua hari berlalu seperti biasa. Ketika matahari terbit dan pergi dari
peraduaannya. Memberikan cahaya yang menusuk dari balik jendela. Bagaimana
rasanya diterpa cahaya?
Hei master? Bagaimana rasanya cahaya matahari itu?
Apa itu sehangat senyumanmu?
Master.. Master?
Bisakah kau gerakkan aku? Sebentar saja.
Buatlah aku memandangi dinding dingin di belakang ini.
Tidak apa-apa.
Master?
Aku ingin menangis.
Apa kau bisa buat mataku ini menangis?
Sang Pemimpi itu memeluk tubuh
mungil itu erat-erat. Mencium rambutnya yang hitam legam itu dan setetes air
mata jatuh di atas pipi. Mengalir kebawah dan dalam sekejap menghilang entah
kemana.
Master.. master?
Kenapa menangis?
Jangan menangis untukku.
Karena aku, tidak pernah bisa
menangis untukmu.
"Aku sudah harus kembali ke kehidupanku yang sebenarnya. Keluargaku
membutuhkanku."
Tangan itu kembali menelusuri lekuk rambut . Senyuman pilu aneh itu masih
melekat di wajahnya. dia menghirup udara
lebih banyak untuk paru-parunya. Sedetik kemudian, bola mata memikat itu
kembali terlihat.
Dia kini sendiri di antara sekian banyak manusia. Penuh debu dan masih
memancarkan kilau di mata elangnya. Terduduk manis di sebuah rak toko. Menunggu
sang master kembali dan membawanya bersamanya.
Aku lelah
Menunggu dalam gelap.
Begitu kelam dan debu ini membuatku risih.
Tidak apa-apa tidak menangis.
Tidak apa-apa tidak menyentuhku.
Ada sesuatu yang ingin kuucapkan padamu.
Master?
Dia menghembuskan nafas sekilas dan melihat kearah beragam manusia itu kembali.
Sedikit lama hingga dia menemukannya. Tepat memandang lurus kearahnya.
Maaf.
Mungkin jemari-jemari itu sudah tak layak memberikan kehidupan bagi
tubuh tak berguna ini.
Tapi, Master, jari-jarimu memberikan kehidupan untukku.
Nama ini sudah tak layak terucap dari bibir sempurna itu.
Suaramu membuatku semakin mencintai dunia ini.
Dan, kehadiranmu bagaikan pengganti jantung dalam tubuh ini.
Kau memperlihatkan banyak keindahan.
Air hujan itu mulai menetes dari ujung daun pohon Kamboja dan jatuh di
atas pipinya yang hitam. Mengalir kebawah dengan pelan bagaikan air mata
seorang manusia yang pilu. Namun, Senyumannya masih tetap sama.
Mata Sang Master membulat sempurna. Kakinya serasa membeku dan bibir
tipisnya terkatup sempurna. Seakan telah dijahit oleh senar-senar yang tak akan
putus. Dia mencengkram pembatas beranda yang terbuat dari batu ukir mahal
dengan erat.
Tidak apa-apa.
Tersenyumlah dan dengarkan ini.
Master?
Bibir itu sedikit terbuka, merasakan angin dingin yang berhembus
menerpa kerongkongannya. Matanya terlihat berkilau dengan genangan air tertahan
di pelupuk matanya.
Senyuman abadinya terlihat
berubah. Bibir kaku itu bergerak meskipun hanya sebuah pergerakan kecil yang
sulit dilihat dari jauh.
Kau membuatku hidup, meskipun aku hanya seorang manusia layaknya boneka
yang tak berdaya.
"Terima kasih, Master."
Dalam sekejap, sebelum hujan berhenti membasahi. Kedua sosok itu telah
hilang seperti tersapu oleh rintikan hujan. Menunggu pelangi yang akan muncul
setelah semua ini berakhir.
Begitu pula dengan kisah ini. Hingga akhir hayatnya, Sang pemimpi itu
tak pernah melihat lagi sang master kembali. Tak pernah melihat mata elangnya
yang tajam lagi, tak pernah menyentuh permukaan licin porselen itu lagi dan tak
pernah melihat senyuman itu lagi.
Semuanya telah berakhir. Tepat disaat bibir itu bergerak tanpa jemari
sang master.....
Selamat Jalan Master, Semoga Engkau menemukan apa yang engkau cari...