“Alif laam miim. Kitab
(Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
(Yaitu) mereka yang beriman kepada perkara ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan
sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 1-3)
Apabila mengurai lagi sejarah, secara psikologis, umat
manusia –sejak dahulu kala– mempunyai keingintahuan yang besar terhadap segala
sesuatu yang bersifat ghaib, khususnya bila berkaitan dengan peristiwa dan
kejadian di masa datang. Saking pena-sarannya, terkadang mereka menyempatkan
(baca: mengharuskan) diri untuk mendatangi tukang ramal; baik dari kalangan
ahli nujum, dukun, ataupun ’orang pintar’. Ada kalanya dengan cara
mengait-ngaitkan sesuatu yang dilihat ataupun didengar, dengan kesialan atau
keberhasilan nasib yang akan dialaminya (tathayyur). Dan ada kalanya pula
dengan meyakini ta’bir (takwil) mimpi
yang diramal oleh orang pintar –menurut mereka. Tragisnya, orang yang dianggap
mengerti akan hal ini justru mendapatkan posisi kunci di tengah masyarakatnya
dan meraih gelar kehor-matan semacam orang pintar dan ahli supranatural. Bahkan
gelar kebesaran ‘wali’ pun acap kali disematkan untuk mereka. Wallahul
musta’an.
Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi pada masyarakat
awam yang identik dengan buta huruf dan penduduk pedesaan semata. Namun
kalangan ‘intelektual’ dan modernis pun ternyata turut terkontaminasi dengan
itu semua. Tidaklah mengherankan jika kemudian berbagai macam ‘ilmu’ yang konon
dapat menyingkap perkara-perkara ghaib meruak ke permukaan dan banyak
dipelajari oleh sebagian masyarakat, meskipun dalam prakteknya kerap kali harus
bekerja sama dengan jin (baca: setan).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh berkata:
“Yang paling banyak terjadi pada umat ini adalah pemberitaan jin kepada
kawan-kawannya dari kalangan manusia tentang berbagai peristiwa ghaib di muka
bumi ini. Orang yang tidak tahu (proses ini) menyangka bahwa itu adalah kasyaf
dan karamah. Bahkan banyak orang yang tertipu dengannya dan beranggapan bahwa
pembawa berita ghaib (dukun, paranormal, orang pintar dll) tersebut sebagai
wali Allah, padahal hakekatnya adalah wali setan. Sebagai-mana firman Allah :
“Dan (ingatlah) akan suatu hari ketika Allah mengumpulkan
mereka semua, (dan Allah berfirman): ‘Hai golongan jin (setan), sesungguhnya
kalian telah banyak menyesat-kan manusia’, lalu berkatalah kawan-kawan mereka
dari kalangan manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah
mendapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai pada waktu yang
telah Engkau tentukan’. Allah berfirman: ‘Neraka itulah tempat tinggal kalian,
dan kalian kekal abadi di dalamnya, kecuali bila Allah menghendaki (yang
lain).’ Sesungguhnya Rabb-mu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am:
128) (Fathul Majid, hal. 353)
Rahasia Alam Ghaib
Alam ghaib menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia alam
ghaib, ada yang Allah khususkan untuk diri-Nya semata dan tidak diberitakan
kepada seorang pun dari hamba-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan hanya di sisi
Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri, dan dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidaklah ada sesuatu yang basah atau
pun yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(Al-An’am: 59)
Tentang hal ini, Nabi Nuh AS berkata, sebagaimana dalam
firman Allah:
“Dan aku tidak
mengatakan kepada kalian (bahwa): ‘Aku mempunyai gudang-gudang rizki dan
kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui yang ghaib’.” (Hud: 31)
Demikian pula Nabi Muhammad AS diperintahkan Allah untuk
mengatakan:
“Katakanlah: ‘Aku tidak
mampu menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan
kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib,
tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa
kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira
bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
Di antara perkara ghaib yang Allah khususkan untuk
diri-Nya semata adalah apa yang terkandung dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah,
hanya pada sisi-Nya semata pengetahuan tentang (kapan terjadinya) hari kiamat;
dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan
tiada seorang pun yang bisa mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia
dapatkan di hari esok. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui di bumi mana
dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman:
34)
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah SAW ketika
ditanya Malaikat Jibril AS tentang kapan terjadinya hari kiamat:
“…termasuk dari lima
perkara (ghaib) yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata. Kemudian Nabi SAW
membaca ayat (dari surat Luqman tersebut).” (HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya no.
50, dari shahabat Abu Hurairah RA)
Di antara perkara ghaib, ada yang diberitakan Allah I
kepada para Rasul yang diridhai-Nya, termasuk di antaranya Nabi Muhammad SAW,
Allah berfirman:
“(Dialah Allah) Yang
Maha Mengetahui perkara ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun
tentang perkara ghaib itu, kecuali yang Dia ridhai dari kalangan Rasul.”
(Al-Jin: 26-27)
“Dan Allah sekali-kali
tidak akan memperlihatkan kepada kalian perkara-perkara ghaib, akan tetapi Allah
memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara para Rasul-Nya.” (Ali `Imran:
179)
Maka dari itulah, perkara ghaib tidak mungkin diketahui
secara pasti dan benar kecuali dengan bersandar pada keterangan dari Allah dan
Rasul-Nya. Lalu bagaimana-kah dengan orang-orang yang mengaku mengetahui
perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari keduanya?
Al-Imam Al-Qurthubi t
berkata: “Barangsiapa mengaku bahwa dirinya mengetahui perkara ghaib tanpa
bersandar kepada keterangan dari Rasulullah SAW, maka dia adalah pendusta dalam
pengakuannya tersebut.” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, 1/151)
Apakah jin (setan)
mengetahui perkara ghaib? Jawabannya adalah: Tidak. Jin tidak mengerti perkara
ghaib, sebagaimana yang Allah nyatakan:
“Maka tatkala Kami telah
menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka (tentang
kematiannya) itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah
tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui perkara
ghaib tentulah mereka tidak akan berada dalam kerja keras (untuk Sulaiman) yang
menghinakan.” (Saba`: 14)
Adapun apa yang mereka beritakan kepada kawan-kawannya
dari kalangan manusia (dukun, paranormal, orang pintar) tentang perkara ghaib,
maka itu semata-mata dari hasil mencuri pendengaran di langit. Sebagaimana
firman Allah SWT :
“Dan Kami menjaganya (langit)
dari tiap-tiap setan yang terkutuk. Kecuali setan yang mencuri-curi (berita)
yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang
terang.” (Al-Hijr: 17-18)
Hikmah Tertutupnya Tabir
Alam Ghaib bagi Umat Manusia
Tidaklah Allah memutuskan dan menentukan suatu perkara
kecuali (pasti) selalu ada hikmah di baliknya. Demikian pula halnya dengan alam
ghaib, yang tabirnya tertutup bagi umat manusia. Di antara hikmahnya adalah
sebagai ujian bagi umat manusia, apakah mereka termasuk orang yang beriman
dengan perkara ghaib yang Allah dan Rasul-Nya beritakan tersebut, ataukah
justru mengingkarinya?!
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata:
“Bahwasanya alam barzah (kubur) termasuk perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau
oleh panca indera. Jika bisa dijangkau oleh panca indera, niscaya tidak ada
lagi fungsi keimanan terhadap perkara ghaib (yang Allah dan Rasul-Nya
beritakan), dan tidak ada lagi perbedaan antara orang-orang yang mengimani-nya
dengan yang mengingkarinya.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 109)
Di antara hikmahnya pula adalah untuk keseimbangan hidup
umat manusia antara suka dan duka, cemas dan harapan di dalam mengarungi
kehidupan dunia ini. Cobalah anda renungkan, bagaimanakah jika seandainya
setiap orang mengetahui semua yang akan terjadi? Tentu kehidupannya akan sangat
kacau dan tidak mendapatkan ketentraman. Bagaimana tidak?! Ketika seseorang
mengetahui dengan pasti bahwa akhir hidupnya adalah menderita, baik karena
ditimpa penyakit kronis, kecelakaan, dibunuh, dan lain sebagainya. Tentu
hidupnya akan diselimuti dengan duka dan kecemasan. Si sakit misalnya, ketika
mengetahui dengan pasti bahwa dia akan mati karena sakitnya itu (dengan izin
Allah) dan tidak ada lagi harapan untuk hidup, tentunya keputus-asaanlah yang
selalu merundungnya. Akan tetapi ketika dia tidak mengetahuinya dengan pasti,
maka harapan untuk menikmati hari esok masih terbentang di hadapannya dan
proses pengobatan pun akan selalu diupaya-kannya.
Ketika umat manusia mengetahui segala yang terjadi di
alam ghaib, bisa melihat malaikat dan jin (setan) dalam wujud aslinya, bisa
mengetahui orang-orang yang diadzab di kubur dan sejenisnya, niscaya ketenangan
hidup tidak akan didapatkannya. Demikian pula ketika masing-masing orang mengetahui
dengan pasti apa yang tersimpan di hati selainnya, maka kehidupan ini akan
terasa sebagai belenggu yang memberatkan. Karena berbagai keburukan yang ada
pada hati masing-masing orang dapat dirasakannya.
Di lain kondisi, ketika seseorang mengetahui dengan pasti
bahwa dia selalu beruntung, niscaya hal itu bisa menjadikan dia sombong dan
bersikap semena-mena terhadap sesamanya. Tidaklah Allah menutup tabir rahasia
alam ghaib kepada kita, kecuali karena kasih sayang dan kebijaksanaan-Nya yang
tiada tara. Sehingga sudah seharusnya bagi kita untuk mensyukuri apa yang
ditentukan-Nya tersebut.