Selasa malam
itu, setelah hujan lebat mengguyur Jakarta, gerimis masih turun. Saya pacu
motor dengan cepat dari kantor disekitar Sudirman menuju
rumah di Citayam-Depok. Kerja penuh seharian membuat saya amat lelah
hingga di sekitar daerah Cijantung mata saya sudah benar-benar tidak bisa
dibuka lagi. Saya kehilangan konsentrasi dan membuat saya menghentikan motor
dan melepas kepenatan di sebuah shelter bis di seberang Mal Cijantung.
Saya lihat jam sudah menunjukan pukul 10.25 malam.
Keadaan
jalan sudah lumayan sepi. Saya telpon isteri saya kalau saya mungkin agak
terlambat dan saya katakan alasan saya berhenti sejenak.
Setelah saya
selesai menelpon baru saya menyadari kalau disebelah saya ada seorang ibu muda
memeluk seorang anak lelaki kecil berusia sekitar 2 tahun. Tampak jelas sekali
mereka kedinginan. Saya terus memperhatikannya dan tanpa terasa air mata saya
berlinang dan teringat anak saya (Syifa) yang baru
berusia 14 bulan. Pikiran saya terbawa dan berandai-andai, “Bagaimana
jadinya jika yang berada disitu adalah isteri dan anak saya?”
Tanpa
berlama-lama saya dekati mereka dan saya berusaha menyapanya. ”Ibu,ibu,kalau
mau ibu boleh ambil jaket saya, mungkin sedikit kotor tapi masih kering. Paling
tidak anak ibu tidak kedinginan” Saya segera membuka raincoat dan jaket saya,
dan langsung saya berikan jaket saya.
Tanpa
bicara, ibu tersebut tidak menolak dan langsung meraih jaket saya. Pada saat
itu saya baru sadar bahwa anak lelakinya benar-benar kedinginan dan giginya
bergemeletuk.
“Tunggu
sebentar disini bu!” pinta saya. Saya lari ke tukang jamu yang tidak jauh dari shelter
itu dan saya meminta air putih hangat padanya. Dan alhamdulillah, saya
justru mendapatkan teh manis hangat dari tukang jamu tersebut dan segera saya
kembali memberikannya kepada ibu tersebut. “Ini bu,.. kasih ke anak ibu!”
selanjutnya mereka meminumnya berdua.
Saya tunggu
sejenak sampai mereka selesai. Saya hanya diam memandangi lalu lalang kendaraan
yang lewat “Bapak, terima kasih banyak, mau menolong saya,” sesaat kemudian ibu
tersebut membuka percakapan. "Ah, tidak apa-apa, ngomong-ngomong ibu
pulang kemana?" tanya saya. "Saya tinggal di daerah Bintaro
tapi…" (dia menghentikan bicaranya), "Bapak pulang bekerja?" dia
balas bertanya.
“Ya” jawab
saya singkat.
“Kenapa
sampai larut malam pak, memangnya anak isteri bapak tidak menunggu?"
tanyanya lagi. Saya diam sejenak karena agak terkejut dengan pertanyaannya.
“Terus
terang bu, sebenarnya selama ini saya merasa bersalah karena terlalu sering
meninggalkan mereka berdua. Tapi mau bilang apa, masa depan mereka adalah
bagian dari tanggung jawab saya. Saya hanya berharap semoga Allah terus menjaga
mereka ketika saya pergi.” Mendengar jawaban saya si ibu terisak, saya jadi
serba salah. “Bu, maafkan saya kalau saya salah omong."
"Pak
kalau boleh saya minta uang seratus ribu, kalau bapak berkenan? Pintanya dengan
sedih dan sopan." Air matanya berlinang sambil mengencangkan pelukan ke
anak lelakinya.
Karena
perasaan bersalah, saya segera keluarkan uang limapuluh-ribuan 2 lembar dan
saya berikan padanya. Dia berusaha meraih dan ingin mencium tangan saya, tetapi
cepat-cepat saya lepaskan. “Ya sudah, ibu ambil saja, tidak usah dipikirkan!”
saya berusaha menjelaskannya. “Pak kalau jas hujannya saya pakai bagaimana? Badan
saya juga benar-benar kedinginan dan kasihan anak saya,” kembali ibu tersebut
bertanya dan sekarang membuat saya heran. Saya bingung untuk menjawabnya dan
juga ragu memberikannya. Pikiran saya mulai bertanya-tanya, Apakah ibu ini
berusaha memeras saya dengan apa yang ditampilkannya di hadapan saya? Tapi saya
entah mengapa saya benar-benar harus mengikhlaskannya. Maka saya berikan raincoat
saya dan kali ini saya hanya tersenyum tidak berkata sepatahpun.
Tiba tiba
anaknya menangis dan semakin lama semakin kencang. Ibu tersebut sangat berusaha
menghiburnya dan saya benar-benar bingung sekarang harus berbuat apa? Saya
keluarkan handphone saya dan saya pinjamkan pada anak tersebut. Dia sedikit
terhibur dengan handphone tersebut, mungkin karena lampunya yang menyala. Saya
biarkan ibu tersebut menghibur anaknya memainkan handphone saya. Sementara itu
saya berjalan agak menjauh dari mereka. Badan dan pikiran yang sudah lelah
membuat saya benar-benar kembali tidak dapat berkonsentrasi. Mungkin sekitar 10
menit saya hanya diam di shelter tersebut memandangi lalu lalang
kendaraan. Kemudian saya putuskan untuk segera pulang dan meninggalkan ibu dan
anaknya tersebut. Saya ambil helm dan saya nyalakan motor, saya pamit dan
memohon maaf kalau tidak bisa menemaninya. Saya jelaskan kalau isteri dan anak
saya sudah menunggu dirumah. Ibu itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih
kepada saya.
Dia meminta no telpon rumah saya dan
saya tidak menjawabnya, saya benar-benar lelah sekali dan saya berikan saja
kartu nama saya. Sesaat kemudian saya lanjutkan perjalanan saya.
Saya hanya diam
dan konsentrasi pada jalan yang saya lalui. Udara benar-benar terasa dingin
apalagi saat itu saya tidak lagi mengenakan jaket dan raincoat ditambah
gerimis kecil sepanjang jalan. Dan ketika sampai di depan garasi dan saya ingin
menelpon memberitahukan ke isteri saya kalau saya sudah di depan rumah, saya
baru sadar kalau handphone saya tertinggal dan masih berada di tangan anak
tadi. Saya benar-benar kesal dengan kebodohan saya. Sampai di dalam rumah saya
berusaha menghubungi nomor handphone saya tapi hanya terdengar nada handphone
dimatikan. “Gila. Saya benar-benar goblok, tidak lebih dari 30 menit saya
kehilangan handphone dan semua didalamnya,” dengan suara tinggi, saya katakan
itu kepada isteri saya dan dia agak tekejut mendengarnya. Selanjutnya saya
ceritakan pengalaman saya kepadanya. Isteri saya berusaha menghibur saya dan
mengajak saya agar mengikhlaskan semuanya. “Mungkin Allah memang
menggariskan jalan seperti ini. Sudahlah sana mandi dan shalat dulu, kalau
perlu tambah shalat shunahnya biar bisa lebih ikhlas,” dia menjelaskan.
Saya segera melakukannya dan tidur.

Keesokan
paginya saya terpaksa berangkat kerja seperti biasanya. Pikiran saya
terus melanglang buana terhadap kejadian tadi malam. Saya belum benar-benar belum mengikhlaskan kejadian tadi malam bahkan sesekali saya
mengumpat dan mencaci ibu dan anak tersebut didalam hati karena telah menipu
saya.
Sampai di
kantor, saya kaget melihat sebuah bungkusan besar diselimuti kertas kado dan
pita berada di atas meja kerja saya. Saya tanya ke office boy, siapa yang
mengantar barang tersebut. Dia hanya menjawab dengan tersenyum kalau yang
mengantar adalah supirnya ibu yang tadi malam, katanya bapak kenal dengannya
setelah pertemuan semalam bahkan dia menambahkan kelihatannya dari orang berada
karena mobilnya mercy yang bagus.
“Bapak
selingkuh ya, pagi-pagi sudah dapat hadiah dari perempuan?" tanyanya
sedikit bercanda kepada saya. Saya hanya tersenyum dan saya menanyakan apakah
dia ingat plat nomor mobil orang tersebut, office boy tersebut hanya
menggelengkan kepala...
Segera saya
buka kotak tersebut dan “Ya Allah, semua milik saya kembali. Jaket, raincoat,
handphone, kartu nama dan uangnya. Yang membuat saya terkejut adalah uang yang
dikembalikan sebesar 2 juta rupiah jauh melebihi uang yang saya berikan
kepadanya. Dan juga selembar kertas yang tertulis :
”Pak, terima kasih banyak atas pertolongannya tadi
malam. Ini saya kembalikan semua yang saya pinjam dan maafkan jika saya tidak
sopan. Kemarin saya sudah tidak tahan dan mencoba lari dari rumah setelah saya bertengkar
hebat dengan suami saya karena beliau sering terlambat pulang ke rumah dengan
alasan pekerjaan. Bodohnya, dompet saya hilang setelah saya berjalan-jalan
dengan anak saya di Mall Cijantung. Sebenarnya saya semalam ingin melanjutkan
perjalanan ke rumah kakak saya di Depok, tetapi saya jadi bingung karena tidak
ada lagi uang untuk ongkos makanya saya hanya berdiam di halte bis itu. Setelah
saya bertemu dan melihat bapak tadi malam, saya baru menyadari bahwa apa yang
suami saya lakukan adalah demi cinta dan masa depan isteri dan anaknya juga.
Salam dari suami saya untuk bapak. Salam juga dari kami sekeluarga untuk
anak-isteri bapak di rumah. Suami saya berharap, biarlah bapak tidak mengetahui
identitas kami dan biarlah menjadi pelajaran kami berdua . Oh ya, maaf
handphone bapak terbawa dan saya juga lupa mengembalikannya tadi malam karena
saya sedang larut dalam kesedihan.
Terima kasih."
Segera saya telpon isteri saya dan saya ceritakan
semua yang ada dihadapan saya. Isteri saya merasa bersyukur dan meminta agar
semua uangnya diserahkan saja ke masjid terdekat sebagai amal ibadah keluarga
tersebut.
0 comments:
Post a Comment